Oleh Udo Z Karzi
MEMBACA "Way Haru Sumor Pitu" dalam manuskrip Saya Belajar dari Sini: Pengalaman Mendampingi Mansyarakat Lampung Barat-nya Ali Rukman (sedang dalam proses terbit), saya seperti terlempar ke era 1970-an dan awal 1980-an ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Di rapor saya tertulis nama sekolah saya "SD Negeri 1 Negarabatin Liwa". Kemudian, di data siswa terteralah bahwa saya masuk ke sekolah ini tertanggal 1 Januari 1977. Ya, bulan Januari pada waktu itu adalah awal tahun ajaran baru dan karena itu cukup menuliskan "T.A. 1997". Tidak seperti sekarang tahun ajaran dimulai Juli dan ditulis dengan dua tahun (T.A. 2015/2016).
Pergantian tahun ajaran ini, terjadi ketika saya naik kelas dua.
"Pantesan saja kelas dua SD-nya lama banget. Sampai 1,5 tahun," ujar saya ketika tahu soal ini lama kemudian.
Selama SD (1977-1983), kami banyak diperkenalkan dengan banyak lagu-lagu wajib dan lagu daerah, terutama lagu Lampung.
Nah, ketika menyanyikan lagu wajib atau lagu daerah ini di depan kelas, kami sering terbahak. Aneh-aneh deh gaya teman-teman kecilku.
Sekali waktu, seorang teman -- yang tidak saya sebut namanya takut orangnya marah hehee... -- maju ke depan kelas. Dengan pede-nya ia memilih lagu "Ibu Kita Kartini" Cipt. WR Supratman.
Baru bait pertama lagu, kami sekelas tertawa. Dia ulang lagi. Ngekek lagi. Tiga kali ulang, kami tetap ngakak.
Gimana gak geli kalu menyanyi kayak gini syairnya:
Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum baunya...
Waduh, maaf kan teman saya, Om Wage. Masa dia genti "harum namanya" dengan "harum baunya". Hehee... Syukurlah kali keempat, teman saya itu mulai menyadari salah sebutnya.
Di lain waktu, teman cewek saya menyanyi di depan kelas. Begini gayanya berdendang:
Padamu negeri
hst...
kami berjanji
hst...
Padamu negeri
hst...
kami berbakti
hst...
Waduh, kacau... setiap baris lagu, temanku menarik ingusnya yang meleleh dari lubang hidungnya yang berbunyi kira-kira "hst..." Hahaa... Dan, sejak itu teman kami itu kami kasih julukan "Sinden Ingusan".
Nah, soal lagu “Way Haru Sumor Pitu”, kami justru tidak mengenalnya dari sekolah. Tapi, dari seorang ayah teman sekelas SD saya dulu, yang kebetulan menjabat Danramil (Komandan Rayon Militer) di Kecamatan Balik Bukit (Liwa), Lampung. Itu pun tidak langsung ke kami. Kami mendengar lagu itu setiap kali bapak teman saya itu diminta menyumbangkan suaranya di acara pernikahan atau apa pun yang kami tonton. Setiap kali tampil, mestilah lagu itu yang dilantunkan bapak teman saya itu (namanya juga dirahasiakan, takut yang bersangkutan dan anaknya marah dengan saya, hehee...)
Begini senandung bapak teman saya itu -- dengan diiringi grup Orkes Monalisa (oleh orang Way Mengaku dipelesetkan jadi Orkes Manabisa, hahaa...):
Way Haru, Way Haru
Sumor Pitu, Nakan
Mata-mata di tengah
Way Haru, Way Haru
Lawok amu, Nakan
dipa mematani kidah
Way Haru...
Aduh, saya lupa lirik lengkapnya. Hehee... tapi seru juga.
Sabtu, 20 Februari 2016
MEMBACA "Way Haru Sumor Pitu" dalam manuskrip Saya Belajar dari Sini: Pengalaman Mendampingi Mansyarakat Lampung Barat-nya Ali Rukman (sedang dalam proses terbit), saya seperti terlempar ke era 1970-an dan awal 1980-an ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Di rapor saya tertulis nama sekolah saya "SD Negeri 1 Negarabatin Liwa". Kemudian, di data siswa terteralah bahwa saya masuk ke sekolah ini tertanggal 1 Januari 1977. Ya, bulan Januari pada waktu itu adalah awal tahun ajaran baru dan karena itu cukup menuliskan "T.A. 1997". Tidak seperti sekarang tahun ajaran dimulai Juli dan ditulis dengan dua tahun (T.A. 2015/2016).
Pergantian tahun ajaran ini, terjadi ketika saya naik kelas dua.
"Pantesan saja kelas dua SD-nya lama banget. Sampai 1,5 tahun," ujar saya ketika tahu soal ini lama kemudian.
Selama SD (1977-1983), kami banyak diperkenalkan dengan banyak lagu-lagu wajib dan lagu daerah, terutama lagu Lampung.
Nah, ketika menyanyikan lagu wajib atau lagu daerah ini di depan kelas, kami sering terbahak. Aneh-aneh deh gaya teman-teman kecilku.
Sekali waktu, seorang teman -- yang tidak saya sebut namanya takut orangnya marah hehee... -- maju ke depan kelas. Dengan pede-nya ia memilih lagu "Ibu Kita Kartini" Cipt. WR Supratman.
Baru bait pertama lagu, kami sekelas tertawa. Dia ulang lagi. Ngekek lagi. Tiga kali ulang, kami tetap ngakak.
Gimana gak geli kalu menyanyi kayak gini syairnya:
Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum baunya...
Waduh, maaf kan teman saya, Om Wage. Masa dia genti "harum namanya" dengan "harum baunya". Hehee... Syukurlah kali keempat, teman saya itu mulai menyadari salah sebutnya.
Di lain waktu, teman cewek saya menyanyi di depan kelas. Begini gayanya berdendang:
Padamu negeri
hst...
kami berjanji
hst...
Padamu negeri
hst...
kami berbakti
hst...
Waduh, kacau... setiap baris lagu, temanku menarik ingusnya yang meleleh dari lubang hidungnya yang berbunyi kira-kira "hst..." Hahaa... Dan, sejak itu teman kami itu kami kasih julukan "Sinden Ingusan".
Nah, soal lagu “Way Haru Sumor Pitu”, kami justru tidak mengenalnya dari sekolah. Tapi, dari seorang ayah teman sekelas SD saya dulu, yang kebetulan menjabat Danramil (Komandan Rayon Militer) di Kecamatan Balik Bukit (Liwa), Lampung. Itu pun tidak langsung ke kami. Kami mendengar lagu itu setiap kali bapak teman saya itu diminta menyumbangkan suaranya di acara pernikahan atau apa pun yang kami tonton. Setiap kali tampil, mestilah lagu itu yang dilantunkan bapak teman saya itu (namanya juga dirahasiakan, takut yang bersangkutan dan anaknya marah dengan saya, hehee...)
Begini senandung bapak teman saya itu -- dengan diiringi grup Orkes Monalisa (oleh orang Way Mengaku dipelesetkan jadi Orkes Manabisa, hahaa...):
Way Haru, Way Haru
Sumor Pitu, Nakan
Mata-mata di tengah
Way Haru, Way Haru
Lawok amu, Nakan
dipa mematani kidah
Way Haru...
Aduh, saya lupa lirik lengkapnya. Hehee... tapi seru juga.
Sabtu, 20 Februari 2016
No comments:
Post a Comment