Oleh Udo Z Karzi
Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
BARANGKALI, tidak segawat bait sajak "Pamplet Cinta"-nya WS Rendra di atas untuk menggambarkan keadaan beberapa fenomena yang terjadi belakangan. Tapi, itulah kecenderungan yang terjadi saat ini. Bibit-bibit arogansi, otoritarian, dan antikritik menggejala.
Ada pejabat marah-marah ketika dikonfirmasi wartawan, petinggi yang tersinggung karena kritik, aparat yang ketakutan dengan hantu komunis hingga merasa perlu melakukan merazia atau melarang buku, hingga pejabat kampus yang membekukan kegiatan mahasiswa karena diprotes.
Repot memang kalau "kekuasaan" yang yang bicara dalam menghadapi berbagai masalah. Kita menjadi terkaget-kaget. Apa yang keliru coba? Pers bertanya karena memang tugasnya untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai pemberi tahu publik mengenai apa yang terjadi.
Petinggi yang memang harus dikritik agar tidak salah jalan dan mengingatkan agar tetap berada di jalur yang benar. Apa-apaan pula kok buku yang dicari-cari hanya karena ketakutan dengan hantu bernama komunis. Yang parah, pejabat kampus yang notabene orang tua mahasiswa kok malah main bredel kegiatan mahasiswa.
Yang terakhir ini, yang terjadi di IAIN Raden Intan membuat kita prihatin. Dosen-karyawan-pimpinan IAIN bilang, "Mahasiswa anarkis!" Tapi, sebaliknya mahasiswa dan lain-lain yang mendukung mahasiswa berkata, "Rektor dan pimpinan IAIN RIL yang arogan!"
Terlepas dari itu, apa pun alasannya, kampus adalah lembaga yang menjunjung nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan moralitas di tempat yang tertinggi. Di kampus inilah sivitas akademika -- melalui Tri Dharma Perguruan Tingginya -- memperjuangkan apa-apa yang mereka pelajari, yang kemudian menjadi sikap dan perilaku etis mereka, baik secara individu maupun secara bersama-sama.
Di kampus inilah, mereka berdialog, berdiskusi, berdebat, bahkan "bertengkar" dalam batas-batas kebebasan akademik yang mereka miliki. Termasuk di dalam ada protes, demonstrasi, dan lain-lain sebagai bentuk-bentuk penyampaian pendapat. Di tempat ini perbedaan diakomodasi dan kebebasan berekspresi dihormati.
Di kampus, tak ada tempat untuk melakukan kekerasan. Sebab, semua boleh berargumen dengan bicara atau menulis.
Makanya, kita menyesalkan pihak yang mengundang aparat masuk kampus IAIN dengan alasan apa pun. Terbukti, kemudian ada mahasiswa yang patah tulang dan cedera akibat undangan ini.
Jadi, kemuliaan kampus sebagai tempat berkumpulnya para intelektual harus dihormati. Caranya dengan tidak sekali-kali menghadirkan wajah kekuasaan yang antikritik, menghalalkan kekerasan, dan sikap tidak bijaksana. []
~ Fajar Sumatera, Senin, 23 Mei 2016
Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
BARANGKALI, tidak segawat bait sajak "Pamplet Cinta"-nya WS Rendra di atas untuk menggambarkan keadaan beberapa fenomena yang terjadi belakangan. Tapi, itulah kecenderungan yang terjadi saat ini. Bibit-bibit arogansi, otoritarian, dan antikritik menggejala.
Ada pejabat marah-marah ketika dikonfirmasi wartawan, petinggi yang tersinggung karena kritik, aparat yang ketakutan dengan hantu komunis hingga merasa perlu melakukan merazia atau melarang buku, hingga pejabat kampus yang membekukan kegiatan mahasiswa karena diprotes.
Repot memang kalau "kekuasaan" yang yang bicara dalam menghadapi berbagai masalah. Kita menjadi terkaget-kaget. Apa yang keliru coba? Pers bertanya karena memang tugasnya untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai pemberi tahu publik mengenai apa yang terjadi.
Petinggi yang memang harus dikritik agar tidak salah jalan dan mengingatkan agar tetap berada di jalur yang benar. Apa-apaan pula kok buku yang dicari-cari hanya karena ketakutan dengan hantu bernama komunis. Yang parah, pejabat kampus yang notabene orang tua mahasiswa kok malah main bredel kegiatan mahasiswa.
Yang terakhir ini, yang terjadi di IAIN Raden Intan membuat kita prihatin. Dosen-karyawan-pimpinan IAIN bilang, "Mahasiswa anarkis!" Tapi, sebaliknya mahasiswa dan lain-lain yang mendukung mahasiswa berkata, "Rektor dan pimpinan IAIN RIL yang arogan!"
Terlepas dari itu, apa pun alasannya, kampus adalah lembaga yang menjunjung nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan moralitas di tempat yang tertinggi. Di kampus inilah sivitas akademika -- melalui Tri Dharma Perguruan Tingginya -- memperjuangkan apa-apa yang mereka pelajari, yang kemudian menjadi sikap dan perilaku etis mereka, baik secara individu maupun secara bersama-sama.
Di kampus inilah, mereka berdialog, berdiskusi, berdebat, bahkan "bertengkar" dalam batas-batas kebebasan akademik yang mereka miliki. Termasuk di dalam ada protes, demonstrasi, dan lain-lain sebagai bentuk-bentuk penyampaian pendapat. Di tempat ini perbedaan diakomodasi dan kebebasan berekspresi dihormati.
Di kampus, tak ada tempat untuk melakukan kekerasan. Sebab, semua boleh berargumen dengan bicara atau menulis.
Makanya, kita menyesalkan pihak yang mengundang aparat masuk kampus IAIN dengan alasan apa pun. Terbukti, kemudian ada mahasiswa yang patah tulang dan cedera akibat undangan ini.
Jadi, kemuliaan kampus sebagai tempat berkumpulnya para intelektual harus dihormati. Caranya dengan tidak sekali-kali menghadirkan wajah kekuasaan yang antikritik, menghalalkan kekerasan, dan sikap tidak bijaksana. []
~ Fajar Sumatera, Senin, 23 Mei 2016
No comments:
Post a Comment