: Dari Hari Apresiasi Bahasa dan Sastra SMAN 1 Sukau, Lampung Barat
Oleh Udo Z. Karzi
SEBENARNYA saya sudah kirimkan power point untuk diskusi pada Hari Apresiasi Bahasa dan Sastra memperingati Bulan Bahasa 2015 di SMAN 1 Sukau, Lampung Barat, Jumat, 13 November lalu. Tapi karena keterbatasan sarana, power point dan sejenisnya tidak bisa dipergunakan di Pekon Pagardewa yang berbatasan dengan Desa Kotabatu di Provinsi Sumatera Selatan ini.
"Listrik sering mati di sini," kata Ahmadi Putera Syahpahlewi, seorang guru bahasa Lampung.
Ai, iya juga. Jangankan di perdesaan seperti ini, di Bandar Lampung yang Ibu Kota Provinsi saja, listrik masih byarpet. Dan benar saja, baru berjalan beberapa menit acara di aula SMAN 1 Sukau berlangsung, listrik tiba-tiba mati.
Waduh, kebingungan juga kalau pengeras suara tak berfungsi di ruang seluas ini dengan jumlah peserta yang cukup besar. Untungnya panitia sudah sigap mengantisipasi dengan baterai untuk pengeras suara. Aman, pikir saya.
Rupanya, panitia sudah mempersiapkan segala sesuatunya secara matang. Syukurlah.
Beberapa saat kemudian, acara dibuka tiga siswi yang bertindak sebagai MC. Ada sambutan Kepala SMAN 1 Sukau Eva Oktarina, ada sambutan Kepala UPT Dinas Pendidikan Sukau Masykur yang dilanjutkan membuka acara.
Saya pikir tak perlu saya kutipkan apa dikatakan keduanya. Bisa-bisa saya malah jadi besar kepala atawa gede rasa karena puja-puji keduanya. Hehee... Tapi intinya, kedua menyampaikan pentingnya kemampuan menulis bagi siswa. Karena itu, sebaiknya para peserta hikmat menyimak diskusi.
Sebelumnya, menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Di sela-sela seremoni itu ada Tari Tanggai untuk menghormati dan sebagai ucapan selamat datang kepada tamu, pembacaan puisi berbahasa Lampung, dan sebuah lagu asyik; semuanya disajikan siswa SMAN 1 Sukau.
Waw, saya terpana. Sungguh pertunjukan yang memikat.
***
Barulah setelah itu diskusi dimulai. Moderator Ahmadi Putera Syahpahlewi memanggil saya dan penulis Yandigsa untuk tampil di muka.
"Pertanyaan pertama, mengapa menulis dan apa gunanya bagi pelajar," kata Ahmadi memulai diskusi.
Kata saya: "Siapa pun bisa menulis. Apalagi siswa, aktivitas menulis menjadi bagian keseharian yang tidak bisa terhindari. Bisa jadi pada mulanya terpaksa karena tuntutan guru dan tugas-tugas sekolah, tetapi lama-kelamaan menulis menjadi kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Seperti berbicara, menulis itu mengungkapkan apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang diingat, apa yang dirasa, apa yang dipikirkan, dan apa-apa yang menjadi bagian dari tugas pancaindera kita.
Seorang yang terbiasa menulis, bisa pusing jika tidak menggoreskan kata-kata dalam bentuk tulisan. Penulis bisa stres karena kepala dan hatinya penuh dengan berbagai emosi dan pikiran, tetapi tidak bisa ia tuangkan dalam tulisan.
Karena itu, menulislah supaya tidak gila!
...
Yang penting, bagaimana mentradisikan menulis. Untuk menghasilkan tulisan yang baik, tentu memerlukan proses belajar yang terus-menerus. Belajar menulis ya menulis itu sendiri. Menulis, menulis, menulis, menulis...
Setelah budaya menulis terbentuk, tinggal perlu ditanyakan: menulis untuk apa, untuk siapa, untuk dikirim ke mana, atau atas penugasan siapa? Maksudnya, tinggal menyesuaikan tulisan yang kita buat dengan persyaratan yang telah ditetapkan atau kualifikasi tulisan yang diharapkan.
Kalau menulis untuk diri sendiri di catatan harian, ya tak ada aturan, suka-suka yang nulislah. Tapi, kalau untuk ditulis di blog, facebook, twitter, ya minimal nggak malu-maluinlah kalau dibaca orang lain. Eh ya, perhatikan juga etika bermedia sosial.
Tulisan tidak hanya berupa sastra (puisi, cerpen, dan novel) dan karya ilmiah, tetapi bisa juga tulisan jurnalistik seperti reportase dan opini. Tinggal sesuaikan dengan persyaratan tulisan di media yang bersangkutan."
Yandigsa menambahkan: "Menulislah. Karena menulis itu keren. Tidak ada yang tidak enak dalam menulis. Yang nggak enak itu kalau tidak menulis. Media sosial seperti facebook dan twitter bisa dijadikan sarana untuk berlatih menulis."
***
Sebenarnya, banyak lagi yang kami sampaikan selama hampir tiga jam. Malu juga sih. Soalnya dari awal sampai akhir Bu Kepsek, Pak Kepala UPD, dan beberapa guru setia menongkrongi selama kami berbicara. Bahkan, sampai ikut mengantar kami makan siang.
Saya dan Yandigsa memang jadi narasumber, tetapi sebenarnya kamilah yang belajar banyak dari diskusi ini. Saya misalnya, menemukan betapa gairah berkreativitas di sekolah ini begitu luar biasa.
"Saya sudah mengumpulkan 200 puisi berbahasa Lampung," kata Ahmadi.
"Di situ juga ada lomba baca puisi," kata Ibu Eva.
Ternyata, daerah perbatasan ini menyimpan bakat-bakat seni dari berbagai cabang. Tinggal bagaimana terus memupuk bibit unggul ini agar menemukan persemaian yang baik dan tetap berkembang.
Ikan nila bakar besar-besar disertai lalapan menjadi menu kami di tepi Danau Ranau seusai salat
Jumat siang itu.
Mati bangik!
Fajar Sumatera, Senin, 23 November 2015
Oleh Udo Z. Karzi
Tari Tanggai dari siswa SMAN 1 Sukau, Lampung Barat. |
"Listrik sering mati di sini," kata Ahmadi Putera Syahpahlewi, seorang guru bahasa Lampung.
Ai, iya juga. Jangankan di perdesaan seperti ini, di Bandar Lampung yang Ibu Kota Provinsi saja, listrik masih byarpet. Dan benar saja, baru berjalan beberapa menit acara di aula SMAN 1 Sukau berlangsung, listrik tiba-tiba mati.
Waduh, kebingungan juga kalau pengeras suara tak berfungsi di ruang seluas ini dengan jumlah peserta yang cukup besar. Untungnya panitia sudah sigap mengantisipasi dengan baterai untuk pengeras suara. Aman, pikir saya.
Rupanya, panitia sudah mempersiapkan segala sesuatunya secara matang. Syukurlah.
Beberapa saat kemudian, acara dibuka tiga siswi yang bertindak sebagai MC. Ada sambutan Kepala SMAN 1 Sukau Eva Oktarina, ada sambutan Kepala UPT Dinas Pendidikan Sukau Masykur yang dilanjutkan membuka acara.
Saya pikir tak perlu saya kutipkan apa dikatakan keduanya. Bisa-bisa saya malah jadi besar kepala atawa gede rasa karena puja-puji keduanya. Hehee... Tapi intinya, kedua menyampaikan pentingnya kemampuan menulis bagi siswa. Karena itu, sebaiknya para peserta hikmat menyimak diskusi.
Sebelumnya, menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Di sela-sela seremoni itu ada Tari Tanggai untuk menghormati dan sebagai ucapan selamat datang kepada tamu, pembacaan puisi berbahasa Lampung, dan sebuah lagu asyik; semuanya disajikan siswa SMAN 1 Sukau.
Waw, saya terpana. Sungguh pertunjukan yang memikat.
***
Barulah setelah itu diskusi dimulai. Moderator Ahmadi Putera Syahpahlewi memanggil saya dan penulis Yandigsa untuk tampil di muka.
"Pertanyaan pertama, mengapa menulis dan apa gunanya bagi pelajar," kata Ahmadi memulai diskusi.
Kata saya: "Siapa pun bisa menulis. Apalagi siswa, aktivitas menulis menjadi bagian keseharian yang tidak bisa terhindari. Bisa jadi pada mulanya terpaksa karena tuntutan guru dan tugas-tugas sekolah, tetapi lama-kelamaan menulis menjadi kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Seperti berbicara, menulis itu mengungkapkan apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang diingat, apa yang dirasa, apa yang dipikirkan, dan apa-apa yang menjadi bagian dari tugas pancaindera kita.
Seorang yang terbiasa menulis, bisa pusing jika tidak menggoreskan kata-kata dalam bentuk tulisan. Penulis bisa stres karena kepala dan hatinya penuh dengan berbagai emosi dan pikiran, tetapi tidak bisa ia tuangkan dalam tulisan.
Karena itu, menulislah supaya tidak gila!
...
Yang penting, bagaimana mentradisikan menulis. Untuk menghasilkan tulisan yang baik, tentu memerlukan proses belajar yang terus-menerus. Belajar menulis ya menulis itu sendiri. Menulis, menulis, menulis, menulis...
Setelah budaya menulis terbentuk, tinggal perlu ditanyakan: menulis untuk apa, untuk siapa, untuk dikirim ke mana, atau atas penugasan siapa? Maksudnya, tinggal menyesuaikan tulisan yang kita buat dengan persyaratan yang telah ditetapkan atau kualifikasi tulisan yang diharapkan.
Kalau menulis untuk diri sendiri di catatan harian, ya tak ada aturan, suka-suka yang nulislah. Tapi, kalau untuk ditulis di blog, facebook, twitter, ya minimal nggak malu-maluinlah kalau dibaca orang lain. Eh ya, perhatikan juga etika bermedia sosial.
Tulisan tidak hanya berupa sastra (puisi, cerpen, dan novel) dan karya ilmiah, tetapi bisa juga tulisan jurnalistik seperti reportase dan opini. Tinggal sesuaikan dengan persyaratan tulisan di media yang bersangkutan."
Yandigsa menambahkan: "Menulislah. Karena menulis itu keren. Tidak ada yang tidak enak dalam menulis. Yang nggak enak itu kalau tidak menulis. Media sosial seperti facebook dan twitter bisa dijadikan sarana untuk berlatih menulis."
***
Sebenarnya, banyak lagi yang kami sampaikan selama hampir tiga jam. Malu juga sih. Soalnya dari awal sampai akhir Bu Kepsek, Pak Kepala UPD, dan beberapa guru setia menongkrongi selama kami berbicara. Bahkan, sampai ikut mengantar kami makan siang.
Saya dan Yandigsa memang jadi narasumber, tetapi sebenarnya kamilah yang belajar banyak dari diskusi ini. Saya misalnya, menemukan betapa gairah berkreativitas di sekolah ini begitu luar biasa.
"Saya sudah mengumpulkan 200 puisi berbahasa Lampung," kata Ahmadi.
"Di situ juga ada lomba baca puisi," kata Ibu Eva.
Ternyata, daerah perbatasan ini menyimpan bakat-bakat seni dari berbagai cabang. Tinggal bagaimana terus memupuk bibit unggul ini agar menemukan persemaian yang baik dan tetap berkembang.
Ikan nila bakar besar-besar disertai lalapan menjadi menu kami di tepi Danau Ranau seusai salat
Jumat siang itu.
Mati bangik!
Fajar Sumatera, Senin, 23 November 2015
Kangen maen ke Liwa euy...
ReplyDelete