Oleh Udo Z Karzi
ENTAHLAH, hingga hari ini saya tak pernah bisa menuliskan
moto hidup. Apalagi, merumuskan tujuan hidup.
Seingat saya, sedari kecil saya barangkali paling susah
menentukan apa yang saya inginkan, apa yang saya harapkan, apa saya impikan,
apa yang saya cita-citakan...
"Sekula mak haga,
ngaji mak haga, mau jadi apa coba?"
Entahlah, sampai usia 16 tahun saya masih menulis begini:
bejuta hanipi
ngeringkol dilom hati:
"jadikon hurikmu
ngedok reti
jama niku, ulun
tuhamu, rikmu
jama sapa riya!"
Ada banyak hal -- keluarga, adat, agama, sekolah, perguruan
tinggi, buku-buku, sastra, filsafat, televisi, termasuk Mario Teguh (?)... --
yang sebenarnya bisa membantu bikin pernyataan tentang tujuan hidup.
Ingin bahagia, dunia akhirat. Itu cita-cita tertinggi,
tetapi selalu saja ada kalanya saya dilanda rasa sedih, frustasi, merasa
sendirian, dan seterusnya.... Kali aja masih takut masuk neraka.
Ingin memberi arti, bermakna buat orang lain. Ah, saya
merasa tidak selalu niat baik itu menjadi baik untuk orang lain. Enggak, enggak
pula saya hendak menuduh orang SMOS (senang melihat orang sengsara dan sengsara
melihat orang senang). Toh, curiga-mencurigai memang adalah sesuatu yang lumrah
saja. Jadi, ya biasa aja.
Ingin bikin sesuatu yang abadi, yang menyejarah, yang patut
dikenang orang banyak. Ahai, ngeri kali. Saya hanya melakukan hal-hal biasa
saja, kadang cuma iseng-iseng tanpa tahu apa guna dan apa maksud yang saya
kerjakan.
Paling-paling cuma ingin agar hidup tak terlalu sia-sia.
Tapi, kalau begini ntar dituduh fatalis pula. Berbuat, bekerja seadanya. Itu
lebih buruk dari realistis, pragmatis, dan serbapraktis.
Ah, hidup... Terlalu berbahaya kalau terlalu serius. Tapi,
lebih bahaya lagi kalau nggak pernah serius.
***
“Ai, sedang galau ya?”
“Nggak cuma lagi
iseng aja dengar curhatan seseorang yang lagi galau.”
“Ini kok nggak
kayak biasanya?”
“Saya sedang biasa saja kok. Ini sebenarnya nasehat kepada
seseorang atau beberapa orang yang lagi dilanda duka. Saya cuma gak tega
mengganti ‘saya’ dengan ‘kamu’ dan ‘dia’. Kalau diganti ‘kita’, nanti ada pula
yang ngeletuk: ‘Kitaa? Lu aja kali, gua kagak!’ Hehee…”
Bisa juga refleksi menjelang tutup tahun. Tapi, pesannya
jelas kok: Jangan kapok menjadi orang baik dan terus menebar kebajikan. n
Fajar Sumatera, Rabu, 23 Desember 2015
No comments:
Post a Comment