Oleh Udo Z. Karzi
UNTUNG bener di Indonesia banyak pil. Bukan pria idaman lain, melainkan pemilihan. Pil itu mulai dari pil-RT, pilkades, pilbup/pilwako, pilgub, pileg hingga pilpres. Kontestasi-kontestasi tersebut paling tidak telah membuka peluang kerja yang lumayan besar bagi banyak pihak: tim pemenangan, tim kampanye, juru bicara, dan seterusnya.
Saat ini yang masih belum juga dingin adalah pilpres, 9 Juli lalu. Sebelumnya, tarik-ulur pelaksanaan pemilihan gubernur Lampung, tahun depan ada lagi pilkada di beberapa kabupaten/kota di Lampung.
Inilah rupanya pasar tenaga kerja yang kini semakin luas di era demokrasi mulai laku di negeri ini. Banyak profesi baru terkait pil-pil ini.
Tapi, ada yang mengkhawatirkan dari fenomena ini. Koordinator Tim Citra Indonesia Soeyanto mengirim pesan pendek: "Saat hari-hari tenang menjelang pilpres, banyak sekali yang mengaku-ngaku pakar, pengamat, peneliti, surveyor, serta komentator bicara bebas dan suka-suka di media terkait analisis mereka tentang capres, kekuatan parpol-parpol pendukung, dan peta wilayah-wilayah pendukung. Ini adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab karena apa yang mereka bicarakan itu banyak biasnya terkait data yang masih data yang masih dinamis. Segala ucapan mereka dapat menumbuhkan persepsi tertentu dan berpihak. Media yang melakukan ini telah melakukan pelanggaran etik atas niatan adanya hari tenang. Ke depan harus ada aturan jelas dan tegas mengenai hal ini terkait siapa-siapa yang kredibel bicara dan batasan apa-apa yang perlu dibicarakan." (Lampung Post, 9 Juli 2014)
Betul juga. Bacalah koran atau lihat tipi, perdebatan masih saja sengit soal siapa pemenang pilpres. Tengok siapa narasumbernya. Selain orang lama, ada banyak yang baru: pakar baru, pengamat baru, peneliti baru, surveyor baru, serta komentator baru. Yah, semoga saja mereka-mereka bukan pakar palsu, pengamat palsu, peneliti palsu, surveyor palsu, serta komentator palsu.
Tapi, memang susah juga membedakan yang asli dengan yang palsu. Cuma masyarakat saja yang dibuat bingung. Paling-paling Mamak Kenut aja yang mengernyitkan pakar si A kok ngomong kayak gitu. Si B mesti begitu.
"Pakar kok omongannya kek gitu?"
"Pengamat kok ngotot amat?"
"Induh weh, " kata Minan Tunja.
Terserah deh. Tapi jangan lupa etika akademik. "Berkata benar itu baik, berkata arif itu lebih baik lagi," ujar Andi Hakim Nasution. Lalu, Andi pun memberikan pedoman kerja bagi para ilmuwan, dosen, yang juga harus melakukan penelitian, yakni (1) Bekerjalah dengan jujur; (2) Janganlah sekali-kali menukangi data; (3) Selalulah bertindak tepat, teliti, dan cermat. (4) Berlakulah adil terhadap pendapat orang lain yang muncul terlebih dahulu; (5) Jauhilah pandangan berbias terhadap data dan pemikiran orang lain; dan (6) Janganlah berkompromi, tetapi usahakanlah menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Jadi, kalau jadi pakar, pengamat, peneliti, surveyor, komentator, atau apa pun yang terkait dengan keilmuan; jangan ngasal geh! n
Lampung Post, 14 Juli 2014
UNTUNG bener di Indonesia banyak pil. Bukan pria idaman lain, melainkan pemilihan. Pil itu mulai dari pil-RT, pilkades, pilbup/pilwako, pilgub, pileg hingga pilpres. Kontestasi-kontestasi tersebut paling tidak telah membuka peluang kerja yang lumayan besar bagi banyak pihak: tim pemenangan, tim kampanye, juru bicara, dan seterusnya.
Saat ini yang masih belum juga dingin adalah pilpres, 9 Juli lalu. Sebelumnya, tarik-ulur pelaksanaan pemilihan gubernur Lampung, tahun depan ada lagi pilkada di beberapa kabupaten/kota di Lampung.
Inilah rupanya pasar tenaga kerja yang kini semakin luas di era demokrasi mulai laku di negeri ini. Banyak profesi baru terkait pil-pil ini.
Tapi, ada yang mengkhawatirkan dari fenomena ini. Koordinator Tim Citra Indonesia Soeyanto mengirim pesan pendek: "Saat hari-hari tenang menjelang pilpres, banyak sekali yang mengaku-ngaku pakar, pengamat, peneliti, surveyor, serta komentator bicara bebas dan suka-suka di media terkait analisis mereka tentang capres, kekuatan parpol-parpol pendukung, dan peta wilayah-wilayah pendukung. Ini adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab karena apa yang mereka bicarakan itu banyak biasnya terkait data yang masih data yang masih dinamis. Segala ucapan mereka dapat menumbuhkan persepsi tertentu dan berpihak. Media yang melakukan ini telah melakukan pelanggaran etik atas niatan adanya hari tenang. Ke depan harus ada aturan jelas dan tegas mengenai hal ini terkait siapa-siapa yang kredibel bicara dan batasan apa-apa yang perlu dibicarakan." (Lampung Post, 9 Juli 2014)
Betul juga. Bacalah koran atau lihat tipi, perdebatan masih saja sengit soal siapa pemenang pilpres. Tengok siapa narasumbernya. Selain orang lama, ada banyak yang baru: pakar baru, pengamat baru, peneliti baru, surveyor baru, serta komentator baru. Yah, semoga saja mereka-mereka bukan pakar palsu, pengamat palsu, peneliti palsu, surveyor palsu, serta komentator palsu.
Tapi, memang susah juga membedakan yang asli dengan yang palsu. Cuma masyarakat saja yang dibuat bingung. Paling-paling Mamak Kenut aja yang mengernyitkan pakar si A kok ngomong kayak gitu. Si B mesti begitu.
"Pakar kok omongannya kek gitu?"
"Pengamat kok ngotot amat?"
"Induh weh, " kata Minan Tunja.
Terserah deh. Tapi jangan lupa etika akademik. "Berkata benar itu baik, berkata arif itu lebih baik lagi," ujar Andi Hakim Nasution. Lalu, Andi pun memberikan pedoman kerja bagi para ilmuwan, dosen, yang juga harus melakukan penelitian, yakni (1) Bekerjalah dengan jujur; (2) Janganlah sekali-kali menukangi data; (3) Selalulah bertindak tepat, teliti, dan cermat. (4) Berlakulah adil terhadap pendapat orang lain yang muncul terlebih dahulu; (5) Jauhilah pandangan berbias terhadap data dan pemikiran orang lain; dan (6) Janganlah berkompromi, tetapi usahakanlah menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Jadi, kalau jadi pakar, pengamat, peneliti, surveyor, komentator, atau apa pun yang terkait dengan keilmuan; jangan ngasal geh! n
Lampung Post, 14 Juli 2014
No comments:
Post a Comment