Oleh Udo Z. Karzi
"MERAGUKAN quick count sama dengan melecehkan ilmu pengetahuan," kata Pinyut ketika ribut-ribut tentang hasil hitung cepat dari 12 lembaga survei yang berbeda soal hasil pilpres.
"Eit, nanti dulu, harus dilihat dulu metodologi quick count-nya. Salah metodologi, ya salah juga hasilnya," kata Mat Puhit.
"Aih, sudahlah. Kita enggak usah meributkan itu. Coba baca dulu Seruan Moral Ilmuwan Menyikapi Hasil Pemilihan Presiden Republik Indonesia yang ditandatangani puluhan ilmuwan, peneliti, pekerja akademik di lembaga pemerintah dan nonpemerintah ini...," sodor Mamak Kenut.
Poin kedua pernyataan itu, bunyinya begini: "Kepada institusi penegakan hukum, khususnya Kepolisian Republik Indonesia, agar sungguh-sungguh menyelidiki kredibilitas, rekam jejak, dan menindak tegas lembaga survei, jika diduga kuat memalsukan data dan membohongi publik. Pemalsuan data dan pembohongan publik berdampak serius dan fatal bagi keutuhan masyarakat dan masa depan Indonesia. Di samping itu, agar Polri memberikan perlindungan dan rasa aman kepada warga masyarakat sipil yang berpartisipasi untuk membantu proses dan memantau penghitungan suara."
Poin ketiganya: "Kepada para pengelola lembaga survei terkait penghitungan cepat agar melakukan uji publik validitas data dengan mengklarifikasi metode dan sampelnya."
"Untuk kebaikan masa depan, pembenahan lembaga survei sangat diperlukan. Jangan sampai ada kesan ilmu pengetahuan (dalam hal ini statistika) itu tidak ada gunanya, atau hanya diperlukan bila menguntungkan suatu kelompok. Prinsip bahwa statistika itu untuk mencari kebenaran harus betul-betul dipegang," tulis Asep Saefuddin, guru besar statistika FMIPA IPB, Rektor Universitas Trilogi (MI, 15/7)
***
Kata kuncinya di situ: ilmu pengetahuan (sains). Definisi umum tentang ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
"Kok banyak ngutip-ngutipnya kayak gitu sih?" protes Pithagiras.
"Lagi buntu, lagi malas mikir," sahut Mamak Kenut.
"Tumben?" sela Udien.
"Ais sudahlah. Yang penting sekarang inti dari kutipan-kutipan itu," timbal Mamak Kenut.
"Apa?" tanya Radin Mak Iwoh.
"Berdasarkan kutipan-kutipan dan definisi di atas (caelah Mamak Kenut kok kayak belajar menulis paper lagi), jelaslah hasil penelitian-penelitian (ilmu-ilmu yang dihasilkan dari survei) tersebut harusnya memberi pencerahan kepada masyarakat. Bisa menjelaskan menjadi lebih jelas dan bukannya tambah mak jelas," kata Mamak Kenut.
"Jadi siapa yang menang?"
"Eh, kok balik ke situ. Tunggu aja tanggal 22 Juli..."
"Begitu ya?"
"Ya, begitu!" n
Lampung Post, Kamis, 17 Juli 2014
"MERAGUKAN quick count sama dengan melecehkan ilmu pengetahuan," kata Pinyut ketika ribut-ribut tentang hasil hitung cepat dari 12 lembaga survei yang berbeda soal hasil pilpres.
"Eit, nanti dulu, harus dilihat dulu metodologi quick count-nya. Salah metodologi, ya salah juga hasilnya," kata Mat Puhit.
"Aih, sudahlah. Kita enggak usah meributkan itu. Coba baca dulu Seruan Moral Ilmuwan Menyikapi Hasil Pemilihan Presiden Republik Indonesia yang ditandatangani puluhan ilmuwan, peneliti, pekerja akademik di lembaga pemerintah dan nonpemerintah ini...," sodor Mamak Kenut.
Poin kedua pernyataan itu, bunyinya begini: "Kepada institusi penegakan hukum, khususnya Kepolisian Republik Indonesia, agar sungguh-sungguh menyelidiki kredibilitas, rekam jejak, dan menindak tegas lembaga survei, jika diduga kuat memalsukan data dan membohongi publik. Pemalsuan data dan pembohongan publik berdampak serius dan fatal bagi keutuhan masyarakat dan masa depan Indonesia. Di samping itu, agar Polri memberikan perlindungan dan rasa aman kepada warga masyarakat sipil yang berpartisipasi untuk membantu proses dan memantau penghitungan suara."
Poin ketiganya: "Kepada para pengelola lembaga survei terkait penghitungan cepat agar melakukan uji publik validitas data dengan mengklarifikasi metode dan sampelnya."
"Untuk kebaikan masa depan, pembenahan lembaga survei sangat diperlukan. Jangan sampai ada kesan ilmu pengetahuan (dalam hal ini statistika) itu tidak ada gunanya, atau hanya diperlukan bila menguntungkan suatu kelompok. Prinsip bahwa statistika itu untuk mencari kebenaran harus betul-betul dipegang," tulis Asep Saefuddin, guru besar statistika FMIPA IPB, Rektor Universitas Trilogi (MI, 15/7)
***
Kata kuncinya di situ: ilmu pengetahuan (sains). Definisi umum tentang ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
"Kok banyak ngutip-ngutipnya kayak gitu sih?" protes Pithagiras.
"Lagi buntu, lagi malas mikir," sahut Mamak Kenut.
"Tumben?" sela Udien.
"Ais sudahlah. Yang penting sekarang inti dari kutipan-kutipan itu," timbal Mamak Kenut.
"Apa?" tanya Radin Mak Iwoh.
"Berdasarkan kutipan-kutipan dan definisi di atas (caelah Mamak Kenut kok kayak belajar menulis paper lagi), jelaslah hasil penelitian-penelitian (ilmu-ilmu yang dihasilkan dari survei) tersebut harusnya memberi pencerahan kepada masyarakat. Bisa menjelaskan menjadi lebih jelas dan bukannya tambah mak jelas," kata Mamak Kenut.
"Jadi siapa yang menang?"
"Eh, kok balik ke situ. Tunggu aja tanggal 22 Juli..."
"Begitu ya?"
"Ya, begitu!" n
Lampung Post, Kamis, 17 Juli 2014
No comments:
Post a Comment