Oleh Udo Z. Karzi
SEBUAH nama mencuat. Dalam sembilan kontrak perjuangan rakyat Jokowi-JK, tersebutlah nomor 5 yang berbunyi "Piagam Abdul Moeloek, komitmen untuk untuk perjuangan bagi tenaga kesehatan, apa pun profesinya."
"Aih, mulai kampanye Jokowi lagi, nih," kata Radin Mak Iwoh.
"Enggaklah, saya tetap pada posisi tidak mendukung siapa-siapa. Saya hanya tertarik dengan nama Abdul Moeloek," sahut Mamak Kenut.
"Memang siapa dia?" kejar Udien.
"Tetanggaku dulu di Liwa," sahut Mamak Kenut.
"Yang serius dulu, weh," kata Pithagiras.
"Ya, benarlah. Ia putra terbaik Lampung yang namanya juga diabadikan untuk nama rumah sakit umum daerah Lampung, yaitu RSUD Abdul Moeloek, sebagai penghargaan terhadapnya perjuangannya di bidang kesehatan di negeri ujung pulau ini," terang Mamak Kenut lagi.
"Ee, iya. Betul ia tokoh kesehatan Lampung," sambung Minan Tunja.
"Betul. Namanya namanya juga tercatat dalam buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung yang diterbitkan Lampung Post, 2008."
***
Abdul Moeloek (lahir di Padangpanjang pada 10 Maret 1905 dan meninggal di Bandar Lampung, 1973) adalah pelopor kesehatan medis di Bumi Ruwa Jurai. Liwa dan Krui adalah tempat pengabdian pertama dokter lulusan Stovia/GH, Jakarta (1932). Lima tahun (1940—1945) menjadi dokter di sana, sentuhan tangannya identik dengan kesembuhan orang sakit.
Kehadiran Abdul Moeloek di Liwa dan Krui telah membuka kesadaran masyarakat tentang dunia medis. Apa pun jenis penyakitnya, masyarakat optimis sembuh jika diobati dokter asal Sumatera Barat itu. Pasiennya bahkan meluas sampai daerah Muara Dua, Sumatera Selatan.
Dia adalah direktur kelima Rumah Sakit Tanjungkarang (sebelum diubah menjadi RSUD dr. Haji Abdul Moeloek), dan paling lama memegang jabatan sebagai direktur (selama 12 tahun, 1945—1957).
Tahun 1935, ayah mantan Menteri Kesehatan Farid Anfasa Moeloek ini menjadi kepala RS Bangkiang. Dua tahun kemudian (1937), suami dari Hj. Poeti Alam Naisjah dan ayah lima anak ini ditempatkan lagi di RS Kariadi Semarang.
Saat menjadi dokter di Liwa, Krui, dan Muara Dua, Abdul Moeloek sempat diangkat sebagai "Bupati Perang" di Liwa dengan pangkat mayor tituler. Gubernur Perang-nya adalah dr. Abdul Gani yang saat itu gubernur Sumatera Selatan.
Ia dikenal sangat disiplin, pekerja keras, tegas, jujur, dan dekat pada masyarakat. Ketika militer Jepang merekrut banyak warga untuk dijadikan romusa (pekerja paksa yang tak dibayar) di Palembang, misalnya, dia punya trik khusus. Saat itu, banyak romusa yang tidak pulang lagi karena meninggal akibat sakit atau kurang makan.
Setelah lima tahun di Pesisir Barat-Lampung Barat-Sumsel, Abdoel Moeloek ditempatkan di RS Tanjungkarang (1945). Satu-satunya dokter saat itu, dia menjabat kepala RS Tanjungkarang dan RS Tentara Tanjungkarang, setelah kedua rumah sakit itu diambil alih dari tangan Jepang.
Peranan Abdul Moeloek menjadi penting dan sangat strategis pada saat perang kemerdekaan (1945—1950). Ia menyuplai obat-obatan kepada para gerilyawan Lampung. Ia juga terjun langsung menangani korban perang.
Meski demikian, ia tetap menjaga dedikasi dan profesionalitasnya sebagai dokter. Suatu hari, terjadi clash (pertempuran) antara tentara gerilya dan Belanda. Dengan pita palang merah di lengan, ia mengobati korban-korban. Bukan hanya pejuang Republik, melainkan juga tentara Belanda.
Untuk merawat korban perang yang terus berdatangan, Abdul Moeloek dan paramedis RS Tanjungkarang bekerja siang dan malam. Dia amanatkan pada seluruh tenaga medis agar mengobati siapa saja yang dibawa ke rumah sakit. Tidak membeda-bedakan prajurit Indonesia atau Belanda.
***
Melihat pengabdiannya bagi kemanusiaan, kata Mamak Kenut, wajar jika nama Abdul Moeloek kini pun diabadikan sebagai sebuah piagam perjuangan bagi membangun kesehatan masyarakat. n
Lampung Post, Sabtu, 5 Juli 2014
SEBUAH nama mencuat. Dalam sembilan kontrak perjuangan rakyat Jokowi-JK, tersebutlah nomor 5 yang berbunyi "Piagam Abdul Moeloek, komitmen untuk untuk perjuangan bagi tenaga kesehatan, apa pun profesinya."
"Aih, mulai kampanye Jokowi lagi, nih," kata Radin Mak Iwoh.
"Enggaklah, saya tetap pada posisi tidak mendukung siapa-siapa. Saya hanya tertarik dengan nama Abdul Moeloek," sahut Mamak Kenut.
"Memang siapa dia?" kejar Udien.
"Tetanggaku dulu di Liwa," sahut Mamak Kenut.
"Yang serius dulu, weh," kata Pithagiras.
"Ya, benarlah. Ia putra terbaik Lampung yang namanya juga diabadikan untuk nama rumah sakit umum daerah Lampung, yaitu RSUD Abdul Moeloek, sebagai penghargaan terhadapnya perjuangannya di bidang kesehatan di negeri ujung pulau ini," terang Mamak Kenut lagi.
"Ee, iya. Betul ia tokoh kesehatan Lampung," sambung Minan Tunja.
"Betul. Namanya namanya juga tercatat dalam buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung yang diterbitkan Lampung Post, 2008."
***
Abdul Moeloek (lahir di Padangpanjang pada 10 Maret 1905 dan meninggal di Bandar Lampung, 1973) adalah pelopor kesehatan medis di Bumi Ruwa Jurai. Liwa dan Krui adalah tempat pengabdian pertama dokter lulusan Stovia/GH, Jakarta (1932). Lima tahun (1940—1945) menjadi dokter di sana, sentuhan tangannya identik dengan kesembuhan orang sakit.
Kehadiran Abdul Moeloek di Liwa dan Krui telah membuka kesadaran masyarakat tentang dunia medis. Apa pun jenis penyakitnya, masyarakat optimis sembuh jika diobati dokter asal Sumatera Barat itu. Pasiennya bahkan meluas sampai daerah Muara Dua, Sumatera Selatan.
Dia adalah direktur kelima Rumah Sakit Tanjungkarang (sebelum diubah menjadi RSUD dr. Haji Abdul Moeloek), dan paling lama memegang jabatan sebagai direktur (selama 12 tahun, 1945—1957).
Tahun 1935, ayah mantan Menteri Kesehatan Farid Anfasa Moeloek ini menjadi kepala RS Bangkiang. Dua tahun kemudian (1937), suami dari Hj. Poeti Alam Naisjah dan ayah lima anak ini ditempatkan lagi di RS Kariadi Semarang.
Saat menjadi dokter di Liwa, Krui, dan Muara Dua, Abdul Moeloek sempat diangkat sebagai "Bupati Perang" di Liwa dengan pangkat mayor tituler. Gubernur Perang-nya adalah dr. Abdul Gani yang saat itu gubernur Sumatera Selatan.
Ia dikenal sangat disiplin, pekerja keras, tegas, jujur, dan dekat pada masyarakat. Ketika militer Jepang merekrut banyak warga untuk dijadikan romusa (pekerja paksa yang tak dibayar) di Palembang, misalnya, dia punya trik khusus. Saat itu, banyak romusa yang tidak pulang lagi karena meninggal akibat sakit atau kurang makan.
Setelah lima tahun di Pesisir Barat-Lampung Barat-Sumsel, Abdoel Moeloek ditempatkan di RS Tanjungkarang (1945). Satu-satunya dokter saat itu, dia menjabat kepala RS Tanjungkarang dan RS Tentara Tanjungkarang, setelah kedua rumah sakit itu diambil alih dari tangan Jepang.
Peranan Abdul Moeloek menjadi penting dan sangat strategis pada saat perang kemerdekaan (1945—1950). Ia menyuplai obat-obatan kepada para gerilyawan Lampung. Ia juga terjun langsung menangani korban perang.
Meski demikian, ia tetap menjaga dedikasi dan profesionalitasnya sebagai dokter. Suatu hari, terjadi clash (pertempuran) antara tentara gerilya dan Belanda. Dengan pita palang merah di lengan, ia mengobati korban-korban. Bukan hanya pejuang Republik, melainkan juga tentara Belanda.
Untuk merawat korban perang yang terus berdatangan, Abdul Moeloek dan paramedis RS Tanjungkarang bekerja siang dan malam. Dia amanatkan pada seluruh tenaga medis agar mengobati siapa saja yang dibawa ke rumah sakit. Tidak membeda-bedakan prajurit Indonesia atau Belanda.
***
Melihat pengabdiannya bagi kemanusiaan, kata Mamak Kenut, wajar jika nama Abdul Moeloek kini pun diabadikan sebagai sebuah piagam perjuangan bagi membangun kesehatan masyarakat. n
Lampung Post, Sabtu, 5 Juli 2014
No comments:
Post a Comment