Oleh Udo Z. Karzi
JIKA bener isi hasil rapat Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti dengan TNI AL, Polri, tentang illegal fishing sebagaimana yang beredar di dunia maya, sungguh sulit berharap pada negeri ini. Kalimat kuncinya ada pada jawaban DPR ini: "Untuk bisa anggaran disesuaikan dengan permintaan Ibu, maka UU Keamanan Laut harus dibuat, dan untuk itu diperlukan paling cepat 2 tahun membahasnya. Itu pun kalau KMP setuju."
DPR, birokrasi, tentara, dan polisi sungguh tak berdaya atau lebih tepat sama sekali tidak merasa perlu menyegerakan segala sesuatu yang penting bagi kemaslahatan rakyat, negara, dan bangsa. Jadi, sumpah jabatan ketika dilantik untuk mengutamakan kepentingan umum, negara, dan bangsa; nonsens banget!
Ya benarlah kata Susi, "Ya artinya selama 5 tahun ini tidak ada yang bisa saya kerjakan. Jahat sekali sistem kita. Padahal ini semua untuk rakyat," ketika menemukan jawaban tambahan: "Bukan hanya dua tahun tapi tambah lagi setahun waktu sosialisasinya. Itu pun kalau sampai tidak diajukan ke MK oleh pengusaha perikanan yang merasa dirugikan dari adanya UU ini."
Ya, kleptokrasi. Rupanya benar, negara ini dijabat oleh maling-maling. Para pencurilah yang menguasai negeri ini, yang menentukan segala sesuatu di negeri ini, yang memegang nasib penduduk negeri ini.
Bagaimana mungkin mereka DPR, birokrasi, aparatur keamanan, dan lain-lain yang disebut aparatur pelayan rakyat dapat merasionalisasikan objektivitas kepentingan publik dalam konstruksi kinerja mereka jika yang mereka pikirkan adalah bagaimana terus-menerus mengambil keuntungan dari situasi chaos di dalam negeri?
Lebih celaka lagi karena ternyata para maling dalam negeri ini rupanya menjalin kerja sama yang erat dengan para pencoleng dari luar yang dengan sengaja dibiarkan merampok kekayaan alam kita. Bayangkan saja kalau maling bikin peraturan, mestilah menguntungkan dan mengutamakan komplotannya.
Setiap kebijakan yang disorong oleh satu kelompok tertentu dapat dipastikan akan dijegal oleh kelompok yang lain. Wujud mental maling para petinggi dan birokrat di negeri kita, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, adalah "pandai main terabas dan mengebiri etika kerja" atau mengabaikan profesionalisme. Pelaku mereka pemerintah masih memosisikan dirinya sebagai pemain yang sebatas bisa membaca dan mengambil untung ke mana angin kepentingan akan bertiup.
Jika ada lubang yang bisa dimasuki untuk mengail keuntungan, para maling ... eh, pejabat ini cepat-cepat beradaptasi untuk mewujudkan mental buruknya bermodus menerabas pagar moral, agama, sumpah jabatan, dan hak-hak rakyat demi tercapainya kepentingan pribadi keluarga, partai, dan kroni-kroninya.
Inilah penyakit kleptokrasi, suatu mental dan kultur menerabas tatanan supaya setiap tatanan di dalam birokrasi menjadi distorsi dan anomi sehingga masing-masing birokrat saling dan sibuk bersaing untuk "membantai" kebenaran, kejujuran, dan keterbukaan.
Tingginya angka korupsi, baik di pusat maupun daerah, salah satu faktor kriminonogen utamanya terletak pada penyakit kleptomania yang masih dipertahankan dan dipuja-puja. Para maling di birokrat, lembaga legislatif, dan yudikatif, sering melakukan praktik simbisosis mutualisme, yang mengakibatkan runtuhnya ideologi kebenaran dan kesederajatan dalam konstruksi etis birokrasi. n
Lampung Post, Senin, 17 November 2014
JIKA bener isi hasil rapat Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti dengan TNI AL, Polri, tentang illegal fishing sebagaimana yang beredar di dunia maya, sungguh sulit berharap pada negeri ini. Kalimat kuncinya ada pada jawaban DPR ini: "Untuk bisa anggaran disesuaikan dengan permintaan Ibu, maka UU Keamanan Laut harus dibuat, dan untuk itu diperlukan paling cepat 2 tahun membahasnya. Itu pun kalau KMP setuju."
DPR, birokrasi, tentara, dan polisi sungguh tak berdaya atau lebih tepat sama sekali tidak merasa perlu menyegerakan segala sesuatu yang penting bagi kemaslahatan rakyat, negara, dan bangsa. Jadi, sumpah jabatan ketika dilantik untuk mengutamakan kepentingan umum, negara, dan bangsa; nonsens banget!
Ya benarlah kata Susi, "Ya artinya selama 5 tahun ini tidak ada yang bisa saya kerjakan. Jahat sekali sistem kita. Padahal ini semua untuk rakyat," ketika menemukan jawaban tambahan: "Bukan hanya dua tahun tapi tambah lagi setahun waktu sosialisasinya. Itu pun kalau sampai tidak diajukan ke MK oleh pengusaha perikanan yang merasa dirugikan dari adanya UU ini."
Ya, kleptokrasi. Rupanya benar, negara ini dijabat oleh maling-maling. Para pencurilah yang menguasai negeri ini, yang menentukan segala sesuatu di negeri ini, yang memegang nasib penduduk negeri ini.
Bagaimana mungkin mereka DPR, birokrasi, aparatur keamanan, dan lain-lain yang disebut aparatur pelayan rakyat dapat merasionalisasikan objektivitas kepentingan publik dalam konstruksi kinerja mereka jika yang mereka pikirkan adalah bagaimana terus-menerus mengambil keuntungan dari situasi chaos di dalam negeri?
Lebih celaka lagi karena ternyata para maling dalam negeri ini rupanya menjalin kerja sama yang erat dengan para pencoleng dari luar yang dengan sengaja dibiarkan merampok kekayaan alam kita. Bayangkan saja kalau maling bikin peraturan, mestilah menguntungkan dan mengutamakan komplotannya.
Setiap kebijakan yang disorong oleh satu kelompok tertentu dapat dipastikan akan dijegal oleh kelompok yang lain. Wujud mental maling para petinggi dan birokrat di negeri kita, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, adalah "pandai main terabas dan mengebiri etika kerja" atau mengabaikan profesionalisme. Pelaku mereka pemerintah masih memosisikan dirinya sebagai pemain yang sebatas bisa membaca dan mengambil untung ke mana angin kepentingan akan bertiup.
Jika ada lubang yang bisa dimasuki untuk mengail keuntungan, para maling ... eh, pejabat ini cepat-cepat beradaptasi untuk mewujudkan mental buruknya bermodus menerabas pagar moral, agama, sumpah jabatan, dan hak-hak rakyat demi tercapainya kepentingan pribadi keluarga, partai, dan kroni-kroninya.
Inilah penyakit kleptokrasi, suatu mental dan kultur menerabas tatanan supaya setiap tatanan di dalam birokrasi menjadi distorsi dan anomi sehingga masing-masing birokrat saling dan sibuk bersaing untuk "membantai" kebenaran, kejujuran, dan keterbukaan.
Tingginya angka korupsi, baik di pusat maupun daerah, salah satu faktor kriminonogen utamanya terletak pada penyakit kleptomania yang masih dipertahankan dan dipuja-puja. Para maling di birokrat, lembaga legislatif, dan yudikatif, sering melakukan praktik simbisosis mutualisme, yang mengakibatkan runtuhnya ideologi kebenaran dan kesederajatan dalam konstruksi etis birokrasi. n
Lampung Post, Senin, 17 November 2014
No comments:
Post a Comment