Sunday, June 19, 2016

Mengakrabi Kesunyian

Oleh Udo Z Karzi


SETELAH mengalah dengan hujan yang berkali-kali menerpa tubuh ringkihku, yang membuatku terkapar di tempat tidur berteman bantal dan selimut tebal selama dua hari di akhir pekan; saya bangun pukul tujuh pagi ini.

Ini prestasi. Soalnya, saya biasanya bangun lebih siang. Apalagi hari Minggu. Hehee...
Yang lain-lain, langsung bilang mau pergi. Tapi, aku merasa belum fits benar. Saya bilang di rumah aja. Ee... Aidil (9,5 tahun), anak saya yg nomor satu, ikut-ikutanan. "Saya ikut Ayah," ujarnya.

Tapi, kok sepi. Apa informasi terbaru ya? Di tivi cuma ada film kartun kesukaan anakku. Saya keluar cari koran.

"Yah, cari Kompas ya," kata Aidil.

"Ya," sahutku.

Selera bacaan anakku boleh juga. Tapi, yang dibaca di Kompas paling2 komik & cerita anak2nya. Hehee...

Di lapak koran tak ada Kompas. Aku hanya bertemu "Kesunyian Penyair"-nya Endri Y di Lampost & cerita mudik buat orang kebanyakan (tapi entahlah buat kami sekeluarga tahun ini, hehee...) di Tribun Lampung.

***

"Kok genti nama? Penyegaran ya?" Ini pertanyaan yang ke sekian.

Setiap kali ada yang bertanya, saya berikan jawaban yang berbeda dengan sekenanya. Untuk pertanyaan itu, saya kasih jawab begini: "Memanfaatkan nama lama yang dibuang sayang, Mas. Hahaa..."

Ya, saya genti nama (lagi) di Facebook setelah memakai nama aseli sekitar dua bulan untuk sebuah alasan yang ... entah, saya tak mengerti.

Zulzet Renorya, begitu nama baru saya. Sebenar sih, bukan nama baru. Nama Zulzet diberi seorang cewek. Tak perlu saya kenalin deh karena hanya akan mengungkit kisah lama dan orangnya juga sudah abadi di pangkuan Ilahi.

Waktu absen, dia tulis nama saya: Zul Z.

Saya protes, "Ee, nama saya bukan gitu."

Dia cuma berucap, "Biar aja. Biar simpel."

Di lain waktu, nama saya dia tulis dengan Zulzet. 

Ya, sudah saya biarin aja. Ya, bagus juga kok. Saya malah kesenangan. Malah, email saya pertama: zulzet@satumail.com tahun 2000. Lalu, genti dengan zulzet@yahoo.com. Dua email sudah ditutup karena nggak pernah dipakai.

Itu Zulzet. Renorya, nama siapa? Ya, bukan nama siapa-siapa. Sebagian orang Lampung menulis Renorya dengan Khenokhiya atau Ghenoghiya (dipisah juga boleh menjadi "kheno khiya" atau "gheno ghiya"). Nah, ulun Lampung tahu deh artinya.

Ya, saya ambil dari omongan tokoh yang saya kagumi KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang berkata, "Gitu aja kok repot." Tapi, kalau saya bikin nama Zul Z Gitu Aja Kok Repot kan malah ribet. Makanya, Zulzet Renorya.

***

Sekarang pertanyaannya, kok suka gonta-ganti nama? Jawab saya, "Suka aja." Sebab, saya penyuka nama-nama bagus seperti Isbedy Stiawan Z S, Oyos Saroso H N, Iswadi Pratama, Iwan Nurdaya-Djafar, Ahmad Yulden Erwin, Ida Refliana, SW Teofani, Ye Wibowo, Budi Hatees, Yulizar Fadli Lubay,  Iin Muthmainnah, Fitri Yani, Alexander Gebe, Ari Pahala Hutabarat, Yuli Nugrahani, Juperta Panji Utama, Panji Sastra Sutarman, Jauhari Zailani, Dahta Gautama, Sugandhi Putra, Rosita Sihombing, Rilda A Oe Taneko, Muhammad Harya Ramdhoni Julizarsyah, Amzuch, Djuhardi Basri, Arman Az, Dyah Merta, Tita Tjindarbumi, Syaiful Irba Tanpaka (Tanpa K ini juga inspirasi buat bikin nama, hehe...ya nggak Nora Juwita Rosadi),  ... waduh banyak banget nama keren dari Negeri Penyair ini.

Itu baru di Lampung. Di luar sana apalagi di luar negeri, lebih banyak lagi nama-nama bagus. Ada Doddi Ahmad Fauji (Bandung), Hazwan Iskandar Jaya (Jogja), Frieda Amran (Belanda)... duh nggak  kesebut-kesebut deh.

Selain suka nama-nama hebat, sejak belajar menulis dan mengirimkannya ke media, saya memang tak pernah pede dengan nama asli. Maka sederet nama saya gunakan untuk tulisan di majalah dinding sekolah, koran, dan majalah di Ibu Kota dan Lampung. Di dalam Ensiklopedia Sastra Lampung susunan Agus Sri Danardana dkk. (yang diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi Lampung, 2008) disebutkan bahwa saya menggunakan banyak nama samaran dalam berkarya, yaitu Kantek Joel Kz,  Joel K. Enairy, Yuli Karnaty, Mamak Kenut, Z. Karzi, dan terakhir Udo Z. Karzi.

Kenapa suka gonta-ganti nama? Agaknya, Endri  Y dalam esainya Gigil, Luka, dan Kesunyian Penyair (Lampost, Minggu, 19/6/2016) seperti hendak menjawabnya. Di bawah sadar saya, saya mau bilang hanya suka menulis. Ya, menulis saja. Untuk tujuan apa saja: Yang pertama-tama doeloe, saya suka honornya. Hahaa...  Saya pernah menetapkan untuk hanya menulis soal-soal sastra atau yang bau-bau kesenian-kebudayaan. Tapi, belakangan sebagai wartawan saya dituntut untuk menulis apa saja. Ya, gimana coba.

Satu hal lagi, saya sejak masih di pers mahasiswa, saya suka menulis yang ngeri-ngeri sedap: mengkritik atau mengkritisi. Tulisan model begini yang suka bikin yang dikritik merah kuping dan panas hati. Nah, di sinilah gunanya saya pakai nama aneh-aneh itu.

"Siapa Z Karzi?" kali itu yang ditanyakan mantan Rektor Unila Alhusniduki Hamim (alm) yang ketika saya bikin tulisan di SKM Teknokra. Pak  Duki, panggilan Alhusniduki, marah karena saya menjelek-jelekkan kebijakan Jadwal Kuliah Terpadu (JKT). Nama Z Karzi ini juga saya pakai di Sumatera Post (1998-2000).

Dengan berbagai nama itu saya gak bakal ngetop dong. Benar saja ketika bertemu dan omong-omong dengan orang, lama kemudian yang bersangkutan tahu kalau saya Udo Z Karzi. "Oo, ini Udo Z Karzi. Oo, Udo Z Karzi itu nama aslinya... (eit, saya gak mau sebut di sini lagi deh)," begitu kira-kira kata mereka.

Benar juga, dengan nama pena kayak gitu gimana mau dipilih kalau daftar Calon Bupati Lampung Barat coba?

***

Suatu kali Bang Iwan (Iwan Nurdaya-Djafar) bilang ke saya, "Penulis memang harus bergelut dengan kesunyian. Ini bukan pekerjaan yang populer dan membutuhkan massa seperti politikus atau bintang film."

Seperti Aris Kurniawan yang  penggemar akut keheningan, saya rupanya seorang penyendiri, walau tak individualis atau egois. Ya, kalau egois mana bisa kerja tim, di koran. Hahai...

Makanya, saya ogah dibilang penyair karena takut kesepian, tak mau disebut cerpenis karena terlalu sedikit punya sedikit cerpen yang dimuat koran, dibilang novelis lebih ngawur lagi karena saya belum juga bisa bikin novel, sastrawan juga bukan ah... Saya lebih suka disebut "tukang tulis" begitu saja (baca: Renorya). Dan dengan begitu, saya bebas menulis apa saja.

Biarlah tulisan saya yang dibaca. Kata orang bijak, "Dengar apa yang dikatakan, benar atau tidak, jangan hiraukan siapa yang mengatakan." Baca tulisan saya. Jangan cari siapa yang nulis. Apalagi, kalau yang nyari pelisi.  Wahahaa...

Tetap saja, saya menulis karena kesepian. Soalnya tulisan panjang kayak ini kalau saya ocehin, siapa yang mau denger.

Tabik.


Minggu, 19 Juni 2016

No comments:

Post a Comment