: In Memoriam Aan S Labuan
Oleh
Udo Z. Karzi
|
Aan S Labuan (ISTIMEWA) |
AWAL-AWAL kepenulisan saya semasa SMA paruh akhir 1980-an, saya tak pernah memperhitungkan Harian
Lampung Post. Saya lebih suka mengirim puisi, cerpen atau artikel ke media di Ibu Kota Jakarta. Meskipun ketimbang dimuat, lebih banyak yang ditolak redaktur sih.
Bukan
ngesok. Tapi, saya relatif terlambat paham ada koran keren bernama
Lampung Post (Lampost) di daerah sendiri. Barulah ketika awal-awal kuliah di Universitas Lampung (Unila), saya mulai mencoba-coba mengirim tulisan ke
Lampost setelah terpengaruh oleh senior-senior Surat Kabar Mahasiswa
Teknokra dan FISIP seperti Eddy Rifai, Maspril Aries, Budisantoso Budiman, Dadang Ishak Iskandar, S Muryono, Hartono Utomo, dan masih banyak lagi.
Eh, saya tidak hendak bercerita tentang proses kreatif dan riwayat kepenulisan saya, tetapi ingin membuka jalan saja bagaimana akhirnya saya bertemu dengan Aan S Labuan.
"Labuan itu tempat lahir saya. Saya ingin menghormati tempat kelahiran saya," kata Aan Solihan sekali waktu ketika saya tanya dari mana asal kata Labuan yang di belakang namanya.
***
Jadi, tahun 1990-an
Lampost masih hitam putih, terbit enam kali sepekan minus hari Minggu. Hari-hari biasa ada halaman Hiburan. Pada hari Sabtu halaman Hiburan berubah semacam halaman sastra, ada puisi, ada cerpen, ada artikel/esai seni, dan lain-lain.
Boleh juga nih. Saya coba kirim puisi dan cerpen untuk Lembar Sastra itu. Beberapa kali tak dimuat-muat. Dongkol juga. Saya kan sudah biasa menulis di koran Ibu Kota, kok koran daerah sendiri tidak menganggap karya saya.
Penasaran, saya sambangi Lampost yang kala itu masih beralamat di Jalan Ahmad Yani, Durianpayung, Bandar Lampung. Dengan malu-malu saya bicara dengan seseorang yang duduk di belakang meja di dekat pintu masuk redaksi
Lampost sambil menunjukkan lembar sastra
Lampost, "Mbak, numpang tanya, penanggung jawab halaman ini siapa ya Mbak?"
Si Mbak manis -- saya gak ingat siapa -- nyahut, "O, Bang Aan. Aan S Labuan...."
"Boleh ketemu
nggak, Mbak?"
Begitulah, awalnya saya ketemu dengan Aan S Labuan. Saya protes kok karya-karya saya gak dimuat. Saya agak lupa bagaimana cara saya protes. Saya juga tak terlalu memperhatikan apa jawaban Bang Aan atas gugatan saya.
"Bawa karyamu dan langsung kasih ke saya!" kata pria kelahiran Labuan Pandeglang tahun 1963 ini.
Ya, akhirnya beberapa kali saya ke
Lampost untuk menyerahkan karya, berdiskusi tentang ide tulisan, bagaimana menulis yang baik, dan... lumayan, bisa ambil honor tulisan. Hehee...
Malah saya saya sempat usulkan sebuah rubrik Sorotan Cerpen untuk menilai cerpen yang dimuat
Lampost. Dan, sayalah yang memulai menulis di rubrik ini di bawah judul “Yang Biasa Justru Menarik”.
Caelah, jadilah saya “kritikus
ecak-ecakan” cerpen di
Lampost. (Sedikit menyimpang, untuk redaktur opini
Lampost kala itu, saya ingat, antara lain ada Hapsoro Poetro, Fajrun Najah Ahmad, Heri Wardoyo, dan Uten Sutendy.)
***
Pada 1997, saya diterima sebagai reporter magang Harian
Tamtama, yang kala itu tergabung dengan Grup Jawa Pos. Dan, e... saya ketemu lagi dengan Bang Aan. Sebagai redaktur Hiburan, ia termasuk yang memberikan pembekalan kepada kami mengenai bagaimana bikin berita dan
feature hiburan atau seni.
Setelah praktik menulis, bikin sosok artis lokal, Bang Aan langsung bilang ke saya, "Kamu cocok jadi wartawan hiburan."
Wartawan jenis ini memang menulis untuk membuat orang senang dan terhibur. "Prinsip yang harus dipegang oleh wartawan hiburan adalah 'kepribadian dan kepribodian'. Begitu saja,
nggak ribet kok," pesan Bang Aan yang masih selalu saya ingat.
Awal-awal Bang Aan berkata begitu, kami para reporter baru jelas saja ngakak. Tapi, kalau dipikir benar juga. Saya termasuk yang paling semangat menulis profil sosok yang menarik dan inspiratif. Boleh juga dipraktikkan dalam kerja jurnalistik. Hehee...
Tapi, saya tidak lama di
Tamtama. Hanya sebulan barangkali.
***
Mei 1998 reformasi. Saya masih jadi guru Ekonomi dan Akuntansi di SMAN dan MAN di kota kelahiran saya, Liwa. Saya masih belum berpikir untuk kembali menekuni dunia kewartawanan. Tapi, ee... saya tergoda juga. Maka, bergabunglah saya dengan Surat Kabar Umum
Sumatera Post akhir 1998 dan Sumatera Post pun terbit awal 1999.
Nah, di koran ini saya bertemu lagi dengan Bang Aan. Pada awalnya,
Sumatera Post lahir dengan konsep koran rasa majalah. Ya, mungkin juga jurnalisme sastra atau apalah.
Ah, Aan Solihan alias Aan S Labuan memang jagonya bikin halaman seger. Di awal-awal pembaca
Sumatera Post akan dimanja dengan gambar cewek semlohoi hampir sebesar poster center split dengan teks yang puitik mengenai sosok cewek di bawah rubrik "Ck ck ck..." Di sekelilingnya ada berita artis dan feature hiburan lainnya. Ada juga resensi film, buku, dan pertunjukan yang dikerjakan Iswadi Pratama, kadang saya dan Juperta Panji Utama.
Kali ini Bang Aan yang tak lama di
Sumatera Post. Ia pindah ke media lain... saya tidak mengikuti secara lengkap riwayat kerja setelah itu. Kabarnya, ia sempat bekerja di
Radar Banten, Tegar TV, Haluan Lampung, dan Radio Krakatau, Labuan Pandeglang.
***
Selepas
Tegar TV, saya hampir tidak pernah bertemu, kurang komunikasi, dan lebih banyak tidak tahu tentangnya. Tiba-tiba, S. Pujiono (Pujay Ono) menulis "Selamat jalan mas Aan Solihan. Semoga damai di alam sana. Aamiin" di dinding
Facebook-nya, Minggu, 8 November 2015 pukul 13.03.
Dari Chita Aulia, anak kedua almarhum saya mendapat informasi, Aan S Labuan menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Labuan Pandeglang, Sabtu, 7 November 2015 pukul 10.15.
"Papah sakit radang tenggorokan. Dari Lampung papah ke Pandeglang
udah sakit. Sempet kerja di Radio Krakatau Labuan Pandglang. Tapi cuma tiga hari. Papah gak pernah mengeluh tentang sakitnya," kata Chita.
Chita menuturkan pesan terakhir papahnya, 'Papah mau pergi ke pelosok Chita. Papah mau asingin diri. Papah mau bangun rumah biar anak-anak papah biza pulang kalo lagi pada punya masalah.'
Tapi dua hari sebelum meninggal, Aan tak bisa apa-apa. Ia langsung dibawa ke rumah sakit.
"Saya dari kecil pisah sama papah. Terakhir ketemu 2012. Tapi saya lega. Dari lima anak papah, cuma saya yang dengar suara terakhir papah dari telepon sehari seblum papah meninggal. Papah, bilang papah sayang sama Chita," kenang Chita.
***
Kini, Bang Aan telah menghadap Ilahi. Wartawan muda bisa belajar banyak dari sosok almarhum.
"Tulisan dia (Aan S. Labuan) bagus. Saya salut dengan dia," kata Pemimpin Redaksi
Fajar Sumatera Abdullah Al Mas'ud tentang rekannya ini.
"Ya Rab, muliakanlah ia di sisi-Mu," tulis penyair Juperta Panji Utama.
"Kami dulu sama-sama kerja jadi wartawan di Lampost. Papahmu orang baik. Semoga
khusnuh khotimah," sambung jurnalis Oyos Saroso H N menanggapi Chita Aulia.
"Masih teringat kerja bareng dan liputan maupun wawancara bersamamu, senyum dan canda seperti tak pernah lepas dari mu kawan...Selamat jalan. Semoga senyum itu juga terus melekat padamu di alam sana. Aamiin YRA," gores wartawan LKBN
Antara Budisantoso Budiman.
"Dialah redaktur dan guru yang baik bagi reporter pemula... Dulu dia pakai nama Aan S Labuan. Semoga masuk surga," demikian Himawan Imron.
Selamat jalan, Bang Aan. Engkau contoh wartawan yang baik, yang memang sangat layak ditiru. n
Fajar Sumatera, 10 November 2015